Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA, pernah marah besar setelah tahu
bahwa salah seorang penebar fitnah hadîtsul-ifki (gosip) yang mencoreng
kesucian putri beliau Aisyah RA adalah tetangga dekatnya sendiri,
bernama Mastoh.
Padahal, biaya hidup sehari-hari keluarga Mastoh banyak bergantung
pada belas kasihan Abu Bakar. Bahkan sewa rumahnya pun tak jarang
dibantu Abu Bakar. Pantas kalau Sahabat yang dikenal penyabar ini marah
atas kelancangan Mastoh yang tega turut menyebarkan gosip mencemarkan
nama dan kesucian putrinya. Saking marahnya, Abu Bakar bersumpah tak
akan memberi bantuan apapun kepada Mastoh dan keluarganya.
Berkait dengan sumpah itu, maka turunlah firman Allah SWT yang
langsung dibacakan Rasulullah SAW kepada Sahabat karibnya itu. “Dan
janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara
kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum
kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah
pada jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.”
(Qs. an-Nûr [24]: 22)
Abu Bakar tetap marah. Dahsyat kejengkelanya itu membuatnya enggan
memaafkan. Dadanya sempit seakan dihimpit beban emosi yang tak terkira
beratnya. Lalu Rasulullah melanjutkan pesan Allah dalam lanjutan ayat
itu: “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Maka tersentuh Abu Bakar dengan tawaran ampunan Allah yang Rasulullah
kemukakan. Dan dengan sigap Abu Bakar menjawab: “Ya, kami sangat ingin
memperoleh ampunan-Nya!” Dan Abu Bakar pun memaafkan kesalahan Mastoh.
Kedua, memberi di kala fakir.
Di saat berlebihan harta, mungkin semua orang bisa memberi. Tapi di kala fakir, tak semua orang bisa melakukannya.
Dalam kondisi fakir, sifat yang banyak berjangkit adalah kikir.
Kecuali kasih ibu kepada anaknya. Seperti diceritakan dalam sebuah
hadits, seorang pengemis wanita datang ke rumah Rasulullah sambil
menggendong dua anaknya.
Dengan wajah memelas ia julurkan tangan meminta belas kasih dari
keluarga Nabi SAW. “Berilah kami. Rasa lapar sungguh sudah lama mendera
kami,” pinta wanita itu.
Tersentuh suara pengemis itu, Aisyah tergopoh mencari makanan di
dapur. Tapi ia hanya dapatkan lima butir kurma. Tiga butir ia berikan
kepada si pengemis, dan dua butir ia sisakan. Pengemis itu memberi satu
butir untuk anaknya sebelah kanan, dan sebutir lagi untuk yang di
sebelah kiri.
Kedua anak itu menyantap dengan lahap. Ketika sang ibu hendak
menyantap sisa sebutir kurma di tangan, kedua anaknya saling berebut
kurma itu. Sang ibu yang fakir pun tak jadi makan. Ia potong kurma
satu-satunya itu menjadi dua, sebelah untuk anak yang di kanan dan
sebelah untuk yang di kiri.
Sejurus kemudian, Rasulullah tiba. Dan Aisyah menceritakan ihwal
pengemis tadi. “Betapa mulia kasih wanita itu kepada kedua anaknya.
Masing-masing sudah diberi satu butir kurma. Tinggal satu untuk dirinya.
Mulut sudah siap menyantap, ia malah urung karena anak-anaknya merebut.
Ia belah menjadi dua dan diberikan kepada kedua anaknya,” cerita
Aisyah. Mendengar penuturan itu, Rasulullah menitikkan air mata seraya
bersabda, “Wanita itu calon penghuni surga.”
Ketiga, berjiwa iffah di kala berduaan dengan lawan jenis.
Betapa bergeloranya gelombang syahwat pemuda Yusuf AS kala diberi
kesempatan oleh wanita cantik, Zulaikha untuk melayaninya. “Sesungguhnya
wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan
Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andai ia tiada
melihat tanda (dari) Tuhannya.” (Qs. Yûsuf [12]: 24)
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa Nabi Yusuf memiliki hasrat buruk
terhadap Zulaikha. Tapi godaan yang sangat besar, rentan membawa beliau
jatuh ke dalam kemaksiatan, andai ia tidak dikuatkan oleh keimanan
kepada Allah.
Itulah jiwa iffah. Berupa rem batin yang dapat mencegah fisik untuk
tidak melabrak larangan Allah. Sebagai manusia, Nabi Yusuf tidaklah
kosong dari nafsu. Ia berkata, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”
Berjiwa iffah dalam suasana pergaulan laki-perempuan yang tidak
bersekat, sungguh amat berat. Apalagi di zaman sekarang yang telah kian
massif pergaulan bebas, kebinalan nafsu yang bisa diumbar di
semak-semak. Budaya sepuas-puasnya ini begitu mudah didapat, semurah
permen karet yang murah dan bisa di kunyah kapan dan di mana saja.
Na’udzubillâh.
Beruntunglah pemuda Yusuf yang tergolong manusia dengan nafsu yang dirahmati Allah. Dan jadilah ia manusia pilihan-Nya.
Ketiga, berkata benar kepada penguasa yang lalim.
Seperti yang dialami Nabi Ibrahim AS, saat menghadap raja Namruz sang
lalim. Ibrahim menanggung risiko hukuman dibakar hidup-hidup, atau
berkata “benar” kepada orang yang diharapkan perlindungannya itu.
Begitu pula yang dilakukan paman Rasulullah SAW, Abu Thalib saat
didatangi beberapa utusan masyarakat Makkah yang menawarkan tiga pilihan
menggiurkan: memberi kekayaan sebanyak-banyak untuk keponakannya itu
jika beliau mau menghentikan dakwahnya. Atau, siap menobatkan beliau
sebagai raja, jika memang itu keinginan beliau. Atau menghadiahinya
wanita tercantik asalkan mau berhenti berdakwah.
Abu Thalib menyampaikan tawaran itu kepada Rasulullah yang beliau
jawab, ”Demi Allah wahai pamanku. Kalau saja mereka meletakkan matahari
di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan misi
dakwah ini, tidaklah akan aku lakukan, sampai Allah menampakkan
keagungan agama ini, atau aku mati karena membelanya.”
Abu Thalib sangat terkagum dengan keberanian keponakannya itu. Lantas
ia memberi semangat, ”Teruskan langkahmu, wahai anak saudaraku. Katakan
apa yang kau suka. Demi tuhan, aku tak akan pernah absen sedikitpun
membelamu.”
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar